top of page
Search
  • Writer's pictureMino Circles Media

Ave Maryam: Cinta Melampaui Kaul Suci.


sumber: Youtube screenshot.

Mendapat kesempatan menonton film teranyar karya sutradara Ertanto Robby Soediskam di gelaran Plaza Indonesia Film Festival pada 14 Februari lalu, tak saya sia siakan. Berbekal tiket dari seorang teman yang batal datang, saya menjadi satu dari ratusan orang di studio 1 Plaza Indonesia XXI yang mendapat kesempatan menonton Ave Maryam lebih awal, karena theatrical release dari film ini baru akan dilakukan 11 April mendatang. Sebelumnya, film ini untuk pertama kalinya ditayangkan dalam ajang ‘lebaran-nya anak film’ (begitu kata seorang kawan): NETPAC Jogja Asian Film Festival 2018, akhir tahun silam.


Jauh sebelum film dirilis, berbagai pembicaraan dan postingan meramaikan sosial media. Foto-foto mpok Zaenab, ups, Maudy Koesnaedi bertudung a la suster atau Joko Anwar dan Chicco Jerikho yang berpakaian pastor menarik perhatian warganet dan memicu beragam komentar, juga rasa penasaran.


Film yang awalnya berjudul The Salt Is Leaving The Sea dapat disebut sebuah angin segar dalam sinema Indonesia. Sejak awal era 2000an, film bertema Kristiani boleh dikata jarang, bahkan setelah munculnya gelombang film-film religius beberapa tahun yang lalu. Sebuah usaha untuk menciptakan (dan mengakui) keragaman dalam ranah sinema. Penonton yang beragam layak dihidangkan pilihan tema yang beragam pula.


sumber: Youtube screenshot.

Di Balik Tembok Biara


Maryam adalah seorang suster yang bertugas di sebuah biara yang dihuni oleh para suster-suster tua. Sehari-hari ia melayani dan merawat para suster itu, mulai dari menyediakan makan, memandikan, hingga menyiapkan obat dan harus melayani jika sewaktu-waktu para suster tua itu terbangun di tengah malam. Kehidupan komunitas religius itu seolah menjadi rutinitas yang berulang-ulang dan tak tergantikan, hingga Romo Martin mengenalkan Maryam dengan Romo Yosef, seorang pastor baru yang memandu orkestra dan pelatih paduan suara gereja. Pribadinya yang energik dan pencinta seni perlahan menarik perhatian Maryam. Berawal dari saling sapa di gereja, kemudian berlanjut saling berkirim surat rahasia, relasi keduanya menjadi semakin erat. Pertemuan demi pertemuan dilakoni, hingga Maryam sering pulang malam dan kerap melalaikan tugas-tugasnya.


Dilema bagi keduanya, karena dalam tradisi katolik mereka diharuskan untuk memegang ikrar suci untuk menjaga keperawanan dan menekan gairah seksual. Adegan tangis bersama di dalam bilik pengakuan dosa seolah menggambarkan kegetiran keduanya dalam ruang yang sama namun terpisah. Maryam seolah dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit: setia pada kaul dan pelayanan di biara, atau mengikuti hasrat pribadi.


Film ini secara langsung bukanlah film agama, namun tema utamanya mau bicara soal mendobrak tabu dan mengisahkan kalau para rohaniwan itu sama seperti orang pada umumnya, punya hati, punya rasa cinta. Namun ketika Maudy —dengan aktingnya yang meyakinkan— memperlihatkan rasa penyesalan yang mendalam, kesan religius sulit ditampik.

Perpaduan akting antara Maudy dan Chicco terlihat prima, namun terasa agak janggal apabila kedua tokoh yang diperankannya terpaut perasaan yang begitu cepat. Rasanya mustahil jika hanya dengan lirikan dan tukar sapa dalam waktu singkat mampu membangkitkan perasaan antara Maryam dan Yosef.


Ave Maryam ingin berbicara secara gamblang dan jujur, walau di beberapa bagian terkesan klise. Beruntung film ini punya aspek visual, tone warna dan sinematografi yang memukau, dengan beberapa shot yang ‘indah’. Kota Semarang disihirnya sehingga terlihat seperti sebuah kota di Eropa Barat.


sumber: Youtube screenshot.

Kesetiaan pada Kaul


Tema utama Ave Maryam berkutat pada perasaan seorang biarawati yang harus mengakui kekurangannya sebagai manusia. Ya, biarawati juga manusia yang punya perasaan. Yang perlu digarisbawahi adalah posisi tokoh Maryam dan tokoh Yosef sebagai rohaniwan. Jika Maryam dan Yosef keduanya umat biasa, atau (dalam istilah Katolik) awam, dengan mudah mereka menjalin kasih dan kemudian menikah. Itu lumrah.


Namun ada sebuah dilemma yang menghadang keduanya. Sebagai biarawan dan biarawati mereka terikat dengan kaul atau ikrar suci, salah satunya yakni kaul keperawanan yang meniadakan hak bagi mereka untuk menikah. Hal itu untuk menjaga kesucian, dan tentu untuk berlaku sebagai ‘pelayan’ yang setia di hadapan Tuhan. Soal menjaga kesetiaan pada kaul inilah yang menjadi tema yang pelik, selain perasaan Maryam sendiri.


Menilik film Indonesia lawas, tema pertentangan batin semacam ini bukanlah hal yang baru. Aktris Paula Roemokoy dalam Gersang Tapi Damai (Wahyu Sihombing, 1977) juga memerankan tokoh serupa. Tokoh biarawati suster Ester yang diperankan Paula dikisahkan terpikat pada seorang laki-laki pecandu narkoba, yang berhasil ia ‘sembuhkan’.


sumber: Youtube screenshot.

Menguji Toleransi Publik


Ave Maryam sejenak mengingatkan kembali akan kejayaan film Indonesia era 1970an. Dengan publik yang masih berpikiran lebih terbuka, film seperti Kenangan Desember (Ami Prijono, 1977) bisa diterima oleh masyarakat tanpa masalah. Di masa lalu, sineas nampak lebih terbuka dalam membuat film dengan setting gereja atau keluarga Kristiani. Walau para pelakonnya tak semua beragama Kristen, begitu juga para penggarapnya.


Menyajikan film dengan tema seperti ini di hadapan publik yang luas, tentu akan menimbulkan pro-kontra. Judulnya pun mengundang perhatian, sebab orang katolik lebih mengenal Ave Maria, sedangkan Maryam adalah nama yang bercitra Islami. Tak hanya bagi penonton yang bukan katolik, bagi para penonton katolik pun tema yang diangkat sesungguhnya agak sensitif.


Akhir kata, tontonlah Ave Maryam dengan pikiran dan hati yang terbuka. Simpan baik-baik segala penghakiman dan nikmati filmnya, yang bakal dirilis kira-kira sepuluh hari sebelum hari raya Paskah. Selamat menjalankan ibadah puasa dan pantang bagi teman-teman yang menjalankan. Viva Sinema Indonesia!


Ave Maryam | Sutradara Ertanto Robby Soediskam | 2018 | Penulis Ertanto Robby Soediskam | Produksi Summerland | Pemain Maudy Koesnaedi, Chicco Jerikho, Joko Anwar, Tuti Kirana, Olga Lydia


Oleh: Harry Hariawan.

81 views0 comments
bottom of page