Merangkum Permasalahan dan Tantangan Ekosistem Musik Indonesia dalam Talkshow “Demokrasi Musik".
- Mino Circles Media
- Apr 15, 2019
- 5 min read

Pada Kamis (11/4) lalu, sebuah media baru bernama Paradise Falls, mengadakan sebuah diskusi yang diselengarakan di Kios Ojo Keos, Jakarta. Dengan poster bertuliskan “Demokrasi Musik”, menjadikan tema yang coba mereka angkat terdengar tidak main-main. Nama-nama seperti Laze, Firas dari Rachun dan Holaspica ditunjuk sebagai pihak yang mereka rasa kredible untuk berbicara soal isu-isu terkait. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu perwakilan dari panitia, bahwa perbincangan dalam Talkshow ini akan menitik beratkan pembahasan pada kebebasan berpendapat dalam bermusik.
Pada diskusi malam itu, saya menemukan kurang lebih lima poin yang kiranya bisa menjadi bahan perenungan bagi para pelaku musik nusantara dan juga kritik terhadap pemerintah selaku pendukung ekosistem musik kita. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini, saya akan mencoba untuk memaparkan atau lebih tepatnya menyoroti beberapa ide yang patut disimak dalam diskusi “Demokrasi Musik”.

1. Pertama-tama dalam sebuah diskusi, Jika kita berbicara soal kebebasan berpendapat melalui musik, maka, tidak bisa tidak, kita pasti berkenaan dengan isu yang cukup meresahkan bagi para pelaku musik yaitu RUU Permusikan yang akhir-akhir ini entah mengapa mulai redup. Oleh karena itu, poin pertama yang patut untuk disorot adalah soal permasalahan Kebebasan Berekspresi yang muncul dalam pasal-pasal yang tertera di dalamnya. Firaz pada awal diskusi mengungkapkan bahwa ada satu pasal dalam RUU Permusikan yang dianggapnya cukup berbahaya. “Dari keseluruhan 54 pasal yang ada, 50 diantaranya itu bermasalah ya. Dan yang paling populer memang pasal 5. Isinya semua tentang larangan-larangan yang menurut gua paling bodoh karena siapa pun bisa pakai pasal itu untuk menuntut siapapun” ungkapnya. Pasal yang digadang-gadang sebagai pasal karet ini memang menjadi pasal yang paling meresahkan bagi para musisi.
Keresahan serupa juga diungkapkan oleh Laze. Ia melanjutkan dengan sebuah kutipan “Sebenarnya yang membatasi kebebasan kita adalah kebebasan orang lain. Dan dalam kasus ini, yang membatasi kebebasan musisi adalah kebebasan pemerintah untuk bikin undang-undang”. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya setiap manusia, tidak hanya dari cara mereka berkarya namun dari cara mereka bergerak atau bahkan mandi dan makan pun pasti berbeda. Dan itu semua merupakan cara berekspresi juga “jadi kenapa harus dibatasi?” tanya-nya. Ia menambahkan “Karena gausah bicara soal Negara, ketika kita jadi sebuah artis dan dikontrak oleh sebuah label dan cara kita berkarya diatur dan dirancang oleh orang-orang yang mengatasi kita, mungkin kita akan merasa ga nyaman dalam berkarya. Apalagi dengan kata-kata seperti dilarang ini dan dilarang itu.”. Melanjutkan poin itu, ia juga memberi saran kepada pemerintah. Ia menyarankan “Kalo pemerintah mau turun tangan, dari pada susah-susah melarang-larang, mungkin ada baiknya mengikuti kebijakan diluar negeri seperti misalnya beberapa album yang rilis diluar negeri, ada semacam tulisan Parental Advisory. Hal ini mungkin lebih masuk akal dan lebih mudah dilakukan.”
2. Poin yang juga patut disorot adalah soal Sistem Pendidikan yang mendewasakan pola pikir para penikmat musik di Indonesia. Firas berpendapat bahwa setiap pendengar harus memahami bahwa karya musik itu dibuat untuk siapa dan untuk suasana seperti apa. Laze menambahkan pendapatnya dengan meboyong kasus yang beberapa saat lalu sempat ramai tentang pelarangan lagu-lagu barat yang dianggap terlalu sensual dan mengandung konten pornografi. Baginya, masih bersangkutan dengan poin pertama, dari pada pemerintah melarang musisinya untuk membuat ini dan itu lebih baik pemerintah ikut mengajak para pendengar untuk bijak dalam menikmati karya. Karena sebuah karya musik sebenarnya menuntut kedewasaan berpikir para pendengarnya, seperti anggapan bahwa seksi atau sensual itu belum tentu porno. Tidak hanya mengkritik pemerintah, Laze juga mengkritik pihak lain yang berperan untuk menyebar luaskan lagu ini seperti Radio. Ia mengatakan “Setiap lagu memang dibuat untuk suasana tertentu, ketika lagunya sexy ya itu untuk sexy time dan ketika lagunya semangat ya itu itu untuk momen-momen semangat. Tapi kenapa sebagian besar radio memainkan lagu yang sama pada jam-jam yang kadang tidak tepat untuk menempatkan lagu-lagu tertentu. Memang kita harus lebih memahami lagi karya itu dibuat untuk apa dan ditempatkan sesuai dengan suasananya.” Dengan statement itu, ia menuntut kebijaksanaan dari musisi, pendengar maupun media seperti radio dalam menempatkan sebuah karya musik.

3. Poin berikutnya berkisar pada topik soal apreasiasi Intelectual Property melalui sistem Royalty. Keresahan soal hal ini diungkapkan pertama kali oleh Laze. Ia memulai dengan membandingan industri musik Indonesia dengan industri musik yang sudah mapan di negara lain berkaitan dengan sistem Royalty, “Kalau melihat musisi di negara lain, sampai hari tuanya mereka masih bisa hidup dari sistem itu. Ketika industri musik sudah matang dan industri kreatif lainnya juga matang seperti di Hollywood, maka industrinya bisa saling berdampingan dan saling mendukung. Contohnya meskipun kita ga manggung tapi kita masih bisa menghasilkan entah dari film, iklan dll dan pendapatan itu bisa dikasih ke cucu kita atau anak-anak kita nanti. Masalahnya, ketika kita bermusik di negara berkembang yang sebagian orangnya lebih sibuk memikirkan besok makan apa dari pada musik bagus seperti apa, itu bisa jadi keresahan yang luar biasa. Karena legacy kita mungkin hanya berupa mp3. Bisa seserem itu”.
4. Poin berikutnya berkaitan dengan classism yang mengedepankan kata “Lokal”. Ternyata kata lokal, yang saat ini tengah populer di skena musik tanah air menjadi sebuah keterbatasan tertentu. Laze mengungkapkan bahwa menurut pengalamannya label “lokal” yang disematkan kepada para musisi justru mengurung, mengandangkan atau membatasi potensi musisi itu sendiri. Terutama pada saat tawar menawar harga. Karena siapa tahu besok band ini bisa menjadi sebuah band internasional. Ia menyarankan bahwa ada baiknya kita tidak melabeli hal apapun dengan kata “Lokal” termasuk dalam hal bisnis seperti produk. Hal serupa diungkapkan juga oleh Firaz. Menurut pengalamannya, sebuah kerjasama yang berdasarkan pertemanan kadang kala juga kurang mendukung kelangsungan hidup para musisi termasuk jika berbicara soal fee. Ia berpendapat bahwa dalam setiap penampilan, sebuah band pasti didukung oleh pihak-pihak lain seperti crew, soundman dll, sehingga sebuah band juga harus bertanggung jawab terhadap perut pihak-pihak yang mendukung penampilan mereka, namun kadang kala tawar-menawar harga tidak berjalan mulus sehingga kadang menyusahkan mereka. Meskipun, hematnya, gerakan-gerakan dengan anggaran terbatas tetap harus didukung.
5. Poin terakhir yang bisa saya simpulkan berkaitan dengan peran seluruh pelaku musik di Indonesia. Holaspica memulai dengan himbauan setiap musisi untuk lebih memahami perannya sebagai bagian dari masyarakat seperti ikut membantu gerakan-gerakan sosial dalam setiap karyanya. Seperti pengalaman yang pernah ia alami, ketika membantu menyelesaikan permasalahan air di lampung yang disebabkan oleh sampah domestik rumah tangga serta kasus buang air besar sembarangan yang mengotori air PAM. Ia berharap semoga musisi lebih peka terhadap permasalahan-permasalahan lain terlepas dari permasalahan di dalam Industri musik. Berbeda dengan Laze, ia lebih menyoroti para pelaku dalam industri musik diluar musisi seperti Record Label, Media dan para penggagas acara entah itu kolektif atau festival akhir-akhir ini sedang banyak bermunculan. Ia menghimbau agar seluruh pihak lebih memahami peran dan kontribusinya bagi industri musik Indonesia agar seluruh pihak bisa bersinergi dan menciptakan ekosistem baru yang lebih kondusif.

Kurang lebih lima poin itulah yang bisa saya ambil dari Talkshow “Demokrasi Musik” semoga bisa menjadi masukan yang baik bagi seluruh pihak yang berperan dalam memajukan industri musik Indonesia. Rangkaian acara “Demokrasi Musik” ditutup oleh sebuah sesi bernama “Sound of Us”. Dalam sesi ini, moderator mencoba menantang para pembicara untuk merangkai sebuah lagu dengan cara meminta tiga buah kata dari para peserta, yang nantinya akan dijadikan sebagai patokan. Kata yang muncul kepermukaan adalah “Batas”, “Amarah” dan “Jangan Diam”. Dengan diiringi oleh satu pemain gitar, ketiga musisi mulai sibuk merangkai kata. Laze memulainya dengan percaya diri karena merasa mengusai medan. Rima-rima menggelitik ala Laze mulai bermunculan satu per satu. Setelah beberapa bar berjalan mulus, pada momen-momen tertentu Holaspica muncul dengan irama latar yang indah. Bagian Riff disumbang oleh harmonisasi Firas Rachun dan Holaspica sebagai pijakan lagu. Pola ini diulang sekitar tiga sampai empat kali hingga akhirnya usai dan diberi judul “Jangan Diam”. Kabar yang beredar, hasil kolaborasi mereka pada malam itu akan coba dibawakan secara lebih proper pada acara Paradise Falls berikutnya. Jadi, jika kalian penasaran dan ingin mendengar lagu hasil kolaborasi mereka malam itu, jangan lupa pantau terus kabar terbaru dari Paradise Falls. Sekian Notulan dari Mino, Semoga Barokah.
Salam,
Mino.
Comentarios